Thursday, August 31, 2017

Missing home.

Sudah beberapa bulan belakangan ini, rindu menjadi makananku sehari-hari.
Merindu menjadi kegiatanku setiap saat.
Menangis diam-diam juga menjadi hobiku kadang-kadang.
Sedikit lembek dan rapuh memang kedengarannya. Tapi apa daya, kenyataannya memang seperti itu.

Aku tidak ingin berkeluh, aku tidak ingin marah.
Tapi kalau kadang aku bingung sampai tidak tahu harus cerita ke siapa itu wajar kan?

Aku sudah menikah. Kurang lebih baru lima bulan usia pernikahanku.
Adalah wajar jika aku masih sering merindukan rumah karena nyatanya saat ini aku tinggal bersama orangtua suamiku karena aku ikut suamiku tinggal di sana. Sebenarnya kami sudah memiliki rumah pribadi sendiri yang letaknya berada persis di samping rumah orangtua suamiku. Namun karena satu dan lain hal, kami masih menempati rumah mertuaku sampai sekarang.

Adaptasi.
Mungkin itu kuncinya.
Orangtua suamiku, yang aku sebut Mamah dan Bapak mertua adalah orangtua yang sangat baik dan lembut hatinya. Aku sangat menyayangi mereka, dan mereka memerlakukanku layaknya aku anak kandung mereka sendiri. Tak ada keluh kesah dari diriku untuk mereka. Doa dan kasih sayangku tulus bagi mereka berdua yang kini ku sebut mereka orangtuaku juga.
Adik iparku juga sangat jenaka dan pandai menghidupkan suasana. Keinginanku untuk memiliki adik perempuan akhirnya terwujud dengan adanya adik-adik iparku yang berjumlah tiga orang, semuanya perempuan. Maklum, aku hanya memiliki adik kandung laki-laki seorang. Dia jagoanku yang paling aku sayang.

Banyak yang aku pikirkan saat aku jauh dari rumah, terlalu banyak. Hal itu didominasi oleh pikiranku tentang Ibu kandungku dan Adik kandungku. Aku panggil mereka dengan lembut dan kasih sayang, Mama dan Adek.
Saking banyaknya aku sampai tidak tahu harus berkata apa setiap ada yang bertanya "memang ada apa? ada masalah apa? apa yang kamu pikirkan?"
Sesulit itu aku mengeluarkan kata-kata untuk menyampaikan apa yang aku pikirkan, aku rasakan, aku inginkan. Akhirnya hanya perkataan "Oh, gapapa kok. Ga ada apa-apa, ga kenapa-napa" ujarku setiap saat. Padahal nyatanya? Iya, ada apa-apa. Iya, aku kenapa-kenapa.

Kedeketanku dengan Mamaku sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Tidak ada jurang tanda tanya, tidak ada titik, tidak ada koma, tidak ada spasi. Ibaratnya aku dan mama adalah rangkaian huruf berbeda yang melengkapi kata-kata. Menyatu, seirama, berarti, dan bermakna.
Jika terpisah jarak? Raga bagaikan pincang. Bagai kapal tanpa nahkoda, terombang-ambing. Terlalu egois aku untuk bicara seperti itu karena sebenarnya setelah menikah separuh diriku telah dilengkapi oleh suami tercintaku. Namun tetap saja saat ini aku sedang membahas adaptasi dan rindu.

Mamaku seorang wanita karir dengan status sendiri. Iya, semenjak berpisah dengan Papaku 20 tahun yang lalu, Mama menjadi tulang punggung keluarga yang menghidupi Nenek, Aku, Adekku, dan Mama sendiri. Terbayangkan betapa dekatnya aku dengan Mama?
Dekat sekali karena Mama memiliki figur ayah dan Ibu yang aku butuhkan. Mama lebih dari seorang Ibu, ia teman, ia partner, ia guru, dan ia penasihatku. Maha Suci Allah SWT yang telah menitipkanku kepada Mama.
Nenekku telah tiada sejak taun 2004. Sejak saat itu sampai 2017 Aku, Mama, dan Adek hidup damai bertiga. Semua selalu kami lakukan bertiga. Tidur bertiga, makan bertiga, travelling bertiga, jalan bertiga, bahkan sampai makan indomie rebus dimasak satu yang makan bertiga. Seperti itulah Aku dan Adek dibesarkan. Ditanami rasa memiliki dan kekeluargaan yang begitu erat, aku selalu berfikir bahwa hidupku untuk bertiga, mimpiku untuk bertiga, sumber bahagiaku untuk bertiga. Aku lebih memilih untuk ngebolang atau sekedar ikutan open trip dengan orang asing tapi ada Mama dan Adek di dalamnya daripada liburan terencana dengan teman-teman satu geng yang ku punya. Aku lebih memilih makan nasi padang dengan kepala ikan kakap satu bungkus bertiga Mama dan Adek daripada harus pergi jalan-jalan fancy bersama teman-taman pun pacar.
Yaa, sangat wajar jika aku berkata bahwa semasa lajangku Mama dan Adek adalah prioritas utama dalam hidupku.

2017.
Bulan Maret lalu aku menikah dengan lelaki pilihanku yang telah diridhoi dan direstui olah Mama dan Papa. Aku menikah dengan lelaki yang namanya selalu aku sebut dan aku pinta kepada Allah SWT. Aku sadar dan aku tahu jika sudah menikah kewajibanku, tanggung jawabku, dosaku, semuanya berpindah. Aku tahu aku memiliki prioritas utama yang lain sekarang. Aku tahu aku harus patuh kepada suamiku, dan harus mendengarkan perkataan suamiku lebih utama dibanding Mama. Aku tahu itu, aku paham itu.
Di tahun ini juga Adikku tamat dari Sekolah Menengan Atas. Adek tamat SMA dan alhamdulillah sekarang dia diterima di Teknik Geologi Universitas Dipenogoro, Semarang. Maka di tahun ini juga Adek resmi menjadi anak rantau Jakarta-Semarang. Aku sangat bangga kepadanya, pun juga Mama yang sangat bangga tapi aku tahu dia juga merasa hampa ditinggal sementara oleh si bungsu setelah si sulung meninggalkannya karena menikah.
Adekku resmi merantau, aku sudah tinggal tidak di Jakarta melainkan Bekasi. Kami berdua jauh secara fisik berjauhan dengan perempuan yang derajatnya paling tinggi di kehidupan kami masing-masing. Kami yang biasa bertiga akhirnya harus menjalani realita yang kadang tidak sempat terpikirkan, realita bahwa si sulung dan si bungsu akan beranjak dewasa dan pergi meninggalkan Ibunda. Dahulu, aku dan Adek selalu berdebat memperebutkan Mama untuk tinggal bersama siapa. Ada haru biru dan binar bahagia setiap mama melihat kami memperdebatkan ia, merebutkan Mama untuk tinggal bersama kami masing-masing. Selalu percakapan "Pokoknya nanti Mama tinggal sama Kakak yaa Ma", dan "Engga, pokoknya tinggal sama Adek" sembari tertawa kami bertiga.
Aku tidak menyangka bahwa waktu cepat berjalan.

Saat ini Mama sendiri. Sendiri di rumah yang tidak besar. Memang tidak besar tapi rasa begitu hampa, kosong, sendu. Keseharian Mamaku saat tidak ada Aku dan Adikku yang menemani adalah: Bangun jam 3 pagi untuk sholat malam, lalu sholat subuh, mandi, berangkat kerja, sholat dhuha dzuhur ashar, pulang kerja, nonton tv, sholat maghrib, nonton tv, sholat isya, tidur. Diulangi setiap hari. Apa perasaanku?? SEDIH, ia aku sedih. Aku menangis. Aku tahu Mama tidak mungkin bisa selamanya sendiri walau aku tahu dia sanggup. Aku yang tidak sanggup melihat Mama sendiri padahal jarak Bekasi dan Matraman tidak sejauh itu. Namun aku juga sadar bahwa tidak mungkin aku bisa meninggalkan rumah jika tanpa restu suamiku. Aku tahu Mama sangat senang yang namanya jalan-jalan, dan semasa lajangku aku lah yang menjadi orang yang setia menemani Mama kemanapun pergi. Pergi nya Mama dan Aku tidak pernah mengeluarkan uang banyak seperti yang disangka orang-orang. Mama dan Aku bisa hanya bermodalkan e-money masing-masing dan uang di dompet alakadarnya, kita berdua pergi naik Commuter Line menuju Bogor dari Stasiun terdekat dari rumah untuk menyantap baso disana. Random. Mungkin orang melihatnya sedikit rempong, tapi itu quality time kami. Bukan melihat rempongnya tapi isi pembicaraan, pelukan, canda, yang kami hasilkan berdua selama perjalanan. Menikmati waktu bersama lah bahasanya.
Tetapi untuk saat ini mohon maafkan Kakak Ma, Kakak sering tidak bisa. Kakak sedang beradaptasi. Mama juga beradaptasi yaa, pun Adek juga.

Berbicara tentang adaptasi, aku kadang merasa iri.
Entah ini benar terjadi atau hanya ungapan pikiran dan hati.
Kadang aku merasa aku sudah sangat berupaya untuk beradaptasi dengan suamiku. Aku dekati keluarganya, aku dekati keluarga besarnya, aku sudah menganggap mereka adalah keluarga besar kandung karena kenyataanyya memang harus seperti itu. Aku ikuti cara mereka menjalani hidup, aku ikuti cara mereka bercanda, aku belajar dari mereka , aku turuti kemauannya. Bahasanya, aku sudah sangat berusaha untuk blend in dan alhamdulillah mereka dangat welcome kepadaku.

Namun apa yang aku rasa dari pasanganku kadang berbeda. Terlihat seperti mengeluh aku yaa, tapi apa yang dia sikapi kadang bisa bikin hati meringis memang. Dia sangat sayang keluargaku, dia bersikap baik kepada keluargaku. Namun kadang ia lupa bahwa keluarga besarku punya cara dan budaya yang ia harus beradaptasi dengannya. Aku merasa ini kadang ga adil.
Contoh sederhana seperti aku selalu berusaha mengikuti semua acara yang dilakukan keluarga besarnya. Namun sebaliknya, ada rasa ogah atau mager bagi dia jika harus mengikuti acara keluarga besarku yang notabene rutin dilakukan setiap bulan.
Iya, Nenek ku memang mengajarkan kami bahwa antar sepupu kakak beradik harus mempunyai rasa memiliki yang erat. Wajar jika arisan keluarga diadakan setiap bulan, wajar jika liburan keluarga besar bisa dilaksanakan tiga bulan sekali, dan wajar jika setiap seminggu atau dua minggu sekali keluargaku saling bertamu hanya untuk haha hihi melepas rindu. Karena persepupuan kami sudah terasa sangat kandung. Family sticks together kan?
Itu yang masih kurang dirasakan oleh pasanganku. Kurang peka menurutku.
Aku tahu dia memang malas untuk pergi meninggalkan rumah, aku tahu dan sangat tahu itu. Aku tahu ia bukan orang yang semangat kalau untuk berpergian apalagi berpergian jauh, aku tahu itu dan sangat tahu itu. Namun aku juga tidak ingin suamiku dianggap tidak mau berbaur, aku tidak mau.
Manusia memang jauh dari sempurna, suamiku juga, terlebih pun aku yang sangat jauh dari sempurna.
Tapi jika ketidaksempurnaan itu bisa kita adaptasikan akan menjadi lebih indah kan?


Maafkan yaa Mas. Aku masih adaptasi, Mas juga harus.